Berdasarkan sensus penduduk tahun 1905 dan 1930, Kota Tangerang telah dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnik. Tidak diketahui lagi etnik mana yang menjajakkan kakinya pertama kali di sini. Beberapa etnik yang menempati Kota Tangerang sejak saat itu adalah etnik Sunda, Jawa, Betawi, Cina, Arab dan Eropa.
Kelompok etnik Sunda sebagian besar menempati daerah Tangerang Selatan dan Tangerang Tengah yang meliputi wilayah kecamatan Tangerang, Cikupa, Serpong, Curug, Tigaraksa, dan Legok. Menurut kronik sejarah Banten, kedatangan orang Sunda di Tangerang berawal dari keikutsertaan orang-orang Priangan menyerbu Batavia bersama pasukan Mataram, namun setelah usai perang mereka tidak kembali kedaerahnya melainkan minta izin tetap tinggal di Tangerang. Sampai sekarang mereka dapat diidentifikasikan sebagai orang Sunda. Selain tetap menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari, mereka menyebut kampung tempat mereka tinggal dengan nama Sunda seperti Kampung Priangan (sekarang Priang), Lengkong Sumedang dan lain-lainnya. Kelompok etnik Sunda masa itu pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan mengusahakan barang-barang kerajinan.
Kelompok etnik Betawi sebagian besar menempati wilayah sepanjang perbatasan Batavia seperti wilayah kecamatan Teluknaga, Batuceper, Ciledug, dan Ciputat. Pada masa itu mereka hidup sebagai petani yang sekaligus juga pedagang. Barang dagangan yang mereka jual terutama adalah buah-buahan dan sayur-sayuran. Wilayah mereka relatif dekat dengan Batavia sehingga memungkinkan mereka menjual hasil pertanian ke Batavia.
Kelompok etnik Jawa menempati wilayah Tangerang Barat Laut dan Tangerang Utara terus menyusuri pantai utara pulau Jawa, yang meliputi kecamatan Mauk, Kresek, dan Rajeg. Kelompok ini jika dilihat dari segi bahasa diperkirakan berasal dari keturunan sisa-sisa prajurit Mataram. Mereka sehari-hari menggunakan bahasa Jawa dan pada umumnya hidup sebagai petani nelayan.
Kelompok Etnik Cina diperkirakan datang ke Tangerang, bersamaan dengan Belanda yang menduduki dan membangun Batavia. Pembangunan Kota Batavia pada waktu itu membutuhkan sejumlah tenaga tukang sehingga perlu didatangkan imigran-imigran Cina ke Batavia. Selain itu ada pula orang-orang Cina yang telah tinggal di sini sebelum Belanda datang. Mereka hidup sebagai tukang pembuat arak. Arak buatan orang Cina ini sangat disukai awak kapal Belanda. Di sisi lain Kelompok Etnik Cina bukan hanya memberi sokongan tenaga kerja tetapi mereka juga membantu dalam keuangan pajak. Gelombang besar kedatangan kelompok ini terjadi pada pertengahan abad 18 sehingga berakibat banyak pengangguran dan terjadi gangguan keamanan. Pada tahun 1740 timbul pemberontakan Cina di Batavia. Setelah kejadian itu, kelompok etnik ini dilarang tinggal di kota, selain harus tinggal dalam satu perkampungan agar mudah diawasi.
Perkampungan kelompok etnik Belanda sebenarnya merupakan kelompok kecil tetapi menduduki posisi penting, dan kehidupan ekonomi mereka juga lebih baik. Mereka banyak menduduki jabatan tinggi dalam dinas sipil dan militer. Misalnya, waktu itu sebagai direktur dan staf perkebunan.
Adapun kelompok yang paling sedikit pada masa itu adalah etnik Arab. Menurut sensus tahun 1905, etnik Arab hanya 20 orang dan sensus tahun 1930 jumlah kelompok meningkat menjadi 185 orang.
Sumber: http://www.kotatangerang.gov.id
Ooooh, begitu toh…
Pantesan Bahasa Benteng itu mirip2 Bahasa Sunda, Betawi, Belanda, dkk. Di sini ada percampuran budayanya juga sih… Hehehe, baru ngarti gue. :p
0 Komentar